Empat anak itu berdiri kaku di depan kamera. Mungkin usia mereka tak sampai sepuluh. Tak ada sedikit pun senyum menyungging di bibir mereka. Baju mereka lusuh dan tak dikancing penuh. Celana mereka pun sama kusam. Tak bersepatu. Di belakang, anak-anak lain menunggu mereka di dalam kelas berdinding kayu.
“Pak Jokowi, minta tas,” ujar mereka.
Kita tak pernah tahu apakah ucapan anak SD dalam video itu benar keinginan mereka atau sekedar titipan entah siapa. Tapi nampaknya itu tak penting, karena toh video itu terlanjur viral. Ditonton sebanyak 33.000 kali dan disukai sebanyak 3.300 pengguna instagram dalam tiga minggu.
Semua bersimpati. Kepolosan mereka menggelegar.
Presiden bertitah cepat. Gemuruh mesin memecah heningnya hutan, membawa bantuan menuju sekolah mereka yang sulit dijangkau. Seperti perang saja.
Siapa yang tak jatuh dalam euforia ketika mengikuti kisah itu? Entah sesunggukan penuh haru saat pertama menonton video hingga girang bukan kepalang saat paket-paket bantuan itu diberikan. Sekarang, saat semua ingar bingar itu sayup meredup, selesaikah sudah semua masalah?
***
Anggit Purwoto tahu betul kondisi anak-anak di Bengkayang. Melalui akun Instagramnya (@anggitpurwoto), dia berusaha memberi pesan pada Presiden (juga Indonesia) bahwa anak-anak di pelosok itu butuh bantuan. Niatnya mulia. Tapi bagiku, di tengah usahanya untuk memberikan perubahan, Anggit lalai dalam satu hal: suaranya nihil konteks.
Kampanyenya tak menunjukkan akar masalah yang sebenarnya. Kenapa mereka tak punya tas dan sepatu? Ke mana orang tua, guru dan dinas pendidikan setempat? Bagaimana sekolahnya? Bagaimana masyarakatnya? Tak ada gambaran barang sedikit pun. Tentu Anggit tak sepenuhnya salah. Sekali lagi, niatnya baik. Namun kita ingin anak-anak itu bersekolah hingga 5-10 tahun lagi, bukan sekedar mengkilap setahun lamanya.
Lewat video itu, aku jadi ingat setahun yang kuhabiskan di Rote Ndao, NTT dulu. Kondisinya persis. Ada 110 anak di SD, mayoritas tak bersepatu. Pun bajunya lusuh. Kasihan benar. Namun waktu berjalan, dan akhirnya kudapat perlahan jawabnya. Mereka punya sepatu, namun tak suka bersepatu.
“Sepatu sonde (tidak) enak, Pak!” ketus mereka saat kunasehati agar bersepatu. Mereka tak bisa berlarian bebas, karena sepatu tak mencengkeram tanah. Berbeda dengan anak-anak di kota yang biasa duduk diam, anak-anak di desaku cenderung lebih suka Ba’usir. Berkejar-kejaran. Maka dari itu, sepatu sungguh mengganggu.
Memang ada juga yang tak punya sepatu, tapi bukan karena tak mampu. Bukan prioritas, kata beberapa orang tua. Padahal yah, mereka mampu beli. Sama halnya dengan baju sekolah dan peralatan lainnya. Unik kan? Kenyataan ini tak akan pernah ditemukan jika kita tak sepenuhnya hidup bersama mereka.
Jika saat itu aku menggalang sepatu, tentu hasilnya serupa. Bantuan akan datang. Semua gembira. Tapi anak-anak akan tetap tak bersepatu, karena yah mereka senangnya berlari, dan dengan telapak kaki yang sekeras kulit badak, sepatu akan tetap terpinggirkan.
Lalu dapatkah bantuan itu menjadikan anak-anakku lebih giat sekolah dan bekerja keras mencapai impian? Apakah bantuan itu membuat guru dan kepala sekolah lebih profesional? Mungkinkah orang tua lebih setia mendampingi anak-anaknya belajar di rumah? Kurasa tidak.
Justru, bantuan instan itu berpotensi mengganggu keharmonisan desa. Akan tercipta ketergantungan baru. Pendatang bisa dianggap juru selamat, hadir memberikan apa yang desa “tidak punya”. Yang tadinya seimbang lalu berganti posisi. Kota adalah pemberi, sedang desa jadi peminta. Jika mentalitas itu menjamur, kota akan semakin pongah dan desa semakin rendah diri.
Rote dan Bengkayang tentu jauh berbeda. Begitu pula dengan Jakarta dan daerah lainnya. Itulah kenapa solusinya tak akan pernah sama.
Untungnya, ada ribuan pendidik seperti Anggit yang sedang bergerak dalam senyap di sudut Indonesia. Mereka bekerja keras mengurai rumitnya benang kusut pendidikan negeri ini.
Mereka dapat berbagi wawasan mendalam kepada kita, orang luar, tentang alam, masyarakat dan tantangannya. Namun setiap pejuang pendidikan itu haruslah bersuara dengan perspektif lokal dan menyeluruh, bukan dengan perspektif pendatang yang nanggung.
Bukankah lebih menarik, kalau para pendidik di pelosok bercerita lebih banyak tentang kecerdasan jamak anak-anaknya dan bagaimana mereka memandang dunia ketimbang kisah kemiskinan mereka? Atau bagaimana tentang kearifan lokal yang seringkali dinomorduakan?
Linimasa kita tentu akan jauh lebih berwarna. Bisa jadi, kita justru minder, karena orang-orang yang katanya pelosok itu ternyata jauh lebih bahagia daripada kita semua.
Itulah kenapa penduduk lokal juga harus dilatih agar lebih percaya diri. Agar saudara-saudara kita itu dapat menjadi solusi atas masalahnya sendiri (itu pun jika ada). Kita tidak sedang menyelamatkan bayi yang tenggelam, kan?
Karena tanpa konteks, tanpa kacamata yang tepat, dan tanpa kesadaran tiap aktornya, setiap masalah pendidikan hanya akan berkutat di persoalan tas dan sepatu. Lalu kita hanya akan mengulang hal yang sama. Video-video terus bermunculan, dibalas bantuan yang terkadang tak dibutuhkan.
Jika begitu, kita akan terus menggantang asap. Berlari-lari dituntun ilusi.
Semoga tidak ya!