Betapa Dekat, Betapa Rapuh

Belum dua minggu kita menapak di 2021 dan kabar duka kembali menggedor-gedor pintu kewarasan. Dia tak pernah kita undang, tapi kau tau dia tak peduli.

Sabtu sore, sekitar pukul dua, pesawat Sriwijaya SJ-182 hilang kontak. Dan tentu kau bisa tebak, apa kemungkinan yang bisa terjadi jika sebuah pesawat hilang kontak setelah lepas landas. Satu per satu kepingan berita mengambang ke permukaan, menunggu waktu saja hingga jadi satu puzzle yang utuh. Seperti terompet perang, air mata deras mengalir dan raungan memekik tajam atas kepiluan yang mencekik.

Kabar itu datang di saat semua orang belum lepas dari euforia tahun baru 2021. Lebih-lebih setelah melalui 2020 yang brutal dan di luar nalar: jutaan kematian karena pandemi, terorisme dan bencana alam. 2021 tadinya diharapkan jadi sebuah penebusan. Seperti janji Tuhan dalam wujud pelangi sesaat setelah air bah melibas di Perjanjian Lama: tidak ada lagi susah gelisah kata-Nya. Namun apa daya, nestapa pula yang menjemput di awal tahun. Mungkin ini bagian dari rencana-Nya – atau tidak.

Membaca kabar jatuhnya SJ-182 membuatku sadar, betapa dekatnya kita dengan kematian. Betapa tak berdayanya kita di hadapan sang Nasib, yang seperti pencuri mengendap-ngendap di belakang kepala empunya rumah. Kita tak pernah sadar satu per satu kepunyaan kita sesungguhnya ada dalam pantauannya. Mana yang paling kita suka, mungkin itulah yang akan diambilnya dahulu. Dan terpujilah jiwa-jiwa yang tangguh, yang lepas menerima saat kesemuanya itu lenyap tak bersisa.

Satu hal yang aku tak yakin bisa lakukan.

++

Doa yang tulus untuk korban jiwa jatuhnya SJ-182. Semoga keluarga yang ditinggalkan dapat kekuatan teguh untuk kembali merayakan hidup.

Perihal Penyambutan Rambo Sambalado

Fenomena penyambutan* RS dari “pembuangannya” mengingatkanku pada ucapan Pak Bos beberapa tahun lalu. Cukup menarik. Katanya: sebagian besar para pengikutnya ini adalah orang-orang yang haus panutan. Mereka adalah rakyat yg gamang dan butuh pegangan. Seperti anak remaja tanggung yang baru beranjak puber, mereka merindukan “rockstar”.

Mereka butuhkan tak sekedar idola, melainkan sosok sensasional pendobrak zona nyaman. Yang mampu mengganggu nilai-nilai kewajaran. Yang mewujudkan apa yang mereka tak mampu lakukan, karena mereka sendiri terkurung (dan takut mendobrak) sistem. RS adalah perpanjangan tangan yang mampu mewujudkan impian terliar mereka. Bagi mereka, RS adalah mimpi basah.

Sebab cobalah kau timbang. RS, dia menjunjung kekerasan, menyebar hoax (palu arit?!), dihantui kasus mesum, namun masih bisa melenggang dengan dada terbusung. F*ck the police! Mungkin begitulah slogannya.

Siapa yg tak kagum dengan keberanian seperti itu? Yg mampu merongrong kemapanan tanpa mampu terganggu seincipun rambut dari tubuhnya. Di sisi lain, dia juga kenal banyak orang beken tanah air. Tambah lagi, RS punya kemewahan berdarah biru. Berlipatgandalah sudah.

Orang-orang ini, yang memujanya, kemudian melebur menjadi satu kelompok lebih besar. Dan jadilah identitas baru yg kental. Ambil satu orang keluar, dia layu. Taruh dalam satu kerumunan, dia mengaum. Kerumunan itu jadi kekuatan baru di relung hati mereka. Itulah sebabnya sang idola harus terus dijaga dan dijunjung. Mereka lalu jadi fanatik. Sebab tanpanya, adakah kerumunan ini?

Jadi, apa akar kefanatikan ini? Entahlah. Mungkin karena kurangnya pendidikan, bisa jadi karena pekatnya kemiskinan, bisa pula karena semakin timpangnya kelas sehingga menajamkan rasa cemburu terhadap mereka yang dianggap diuntungkan. Mungkin juga krn lembeknya dan tidak kerennya para penguasa. Semua bisa berdampak.

Lalu bagaimana, katamu? Aku tak tahu. Tapi yang ini baiknya jangan dianggap remeh. Mungkin jumlah mereka kecil dibandingkan ratusan juta rakyat lainnya. Tapi kita pilih diam maka 10-15 tahun lagi siaplah hidup dalam mimpi buruk.

Mungkin begini: belajar keras, kerja keras, dan ambil peran. Entah bangun sekolah, bangun lapangan kerja, atau setidaknya main lebih banyak dgn orang-orang di luar gelembung kita. Sebab seringkali fanatisme justru tumbuh subur saat kita terlalu serupa.

*Penyambutan Rastafaria Sambalado (RS) di bandara Sozetia Ettaetta, Zimbabwe

**Kesamaan nama, tempat dan cerita hanyalah kebetulan.

Wabah

Tak pernah sedikit pun dalam mimpi liarku bahwa aku akan berada dalam sebuah wabah. Covid-19 merongrong sejak Desember dan tak tahu entah kapan dia akan berhenti. Waktu dipaksa melambat, jalan-jalan dipaksa diam.

Yang pilu dalam setiap musibah adalah akan ada orang-orang yang terhimpit dan tak tahu harus berbuat apa. Mereka yang berada di bawah piramida kehidupan, yang bertumpu pada upah harian dan tak punya kuasa atas nasib mereka sendiri. Mereka yang selama ini berpegangan erat pada kesepakatan kerja yang rapuh dan bisa runtuh kapan saja.

Uniknya, pengambil keputusan negara ini memberi himbauan tanpa memberi kepastian akan keamanan pekerjaan mereka. Ya, aku diminta tinggal di rumah, lalu apa? Apakah keluargaku bisa makan kalau begitu? Pasti itu pikir mereka.

Wabah, sebagaimana situasi hidup dan mati lainnya, memunculkan sisi tergelap manusia. Cerita-cerita tentang mereka yang meraup untung setinggi mungkin dan orang-orang yang memaksa menimbun pangan untuk mereka sendiri, jadi berita yang kudengar terus dalam keseharian. Yang menjijikkan lagi, bahwa ada kabar orang-orang yang menjual masker bekas di tengah segala kegilaan ini. Bahkan setan pun tak akan bisa selicik itu.

Wabah adalah pertempuran, dan di dalamnya selalu ada pejuang yang mati. Dalam kisah ini, dokter dan perawat yang harus meregang nyawa. Sialnya, sebagian besar karena kurangnya alat pelindung diri (APD) yang seharusnya bisa dicegah jika memang negara kita bekerja lebih sigap ketimbang memilih untuk memberi insentif wisata saat Covid-19 menampakkan dirinya.

Namun selalu ada harapan di setiap pertempuran. Aku melihat inisiatif masyarakat muncul satu per satu seperti rerumputan.

Entah sampai kapan.

Tidak Sengaja

Beberapa hari yang lalu, satu pesawat Ukraina International Airlines yang baru saja lepas landas dari Teheran jatuh dalam keadaan terbakar. Bisa ditebak, tak ada yang selamat. Dua-tiga hari, Iran menolak bertanggung jawab. Kerusakan teknis lapornya.

Namun siapa bisa tutupi bangkai di masa sekarang? Baunya merebak tajam, hingga akhirnya Iran mengaku: tak sengaja meluncurkan rudal ke pesawat. Mereka kira pesawat itu ancaman karena bergerak menuju pusat militer rahasia Garda Revolusi Iran, tim elite yang dipimpin Soleimani yang dibunuh AS beberapa hari sebelumnya.

Tak sengaja menembak.

Bayangkan jika ketidaksengajaanmu mengorbankan nyawa 176 penumpang dan kru. Bayangkan jika ketidaksengajaanmu membuat ratusan anak kehilangan orang tuanya, perempuan kehilangan pasangannya dan orang-orang tua harus meratapi sepatu yang terbakar, karena hanya itulah yang tersisa dari anak-anak mereka.

Sulit dipahami betapa nyawa bisa lenyap sekejap mata dan tidak ada yang bisa kita lakukan terhadapnya. Betapa nyawa bisa menjelma jadi sekedar satu dua garis yang membentuk grafik dan statistik di depan layar kaca.

Tak sengaja.

Selamat Datang, Dua Puluh

Baru dua minggu di dua puluh, tapi rasanya seperti selamanya. Berita perang, kebakaran, banjir dan intrik politik di waktu yang singkat itu datang sekonyong-konyong, layaknya bertemu kenalan lama yang sedari dulu kau ingin hindari. Tak ada jeda. Percakapan singkat, distraksi, dan emosi yang berlimpah ruah dipampatkan dalam satu pertemuan singkat. Melelahkan.

Tapi ini lah hidup. Tak akan bisa kau pilih lika-likunya. Yang penting siap, hantam semuanya apapun yang kau temukan di jalan. Dan yang tak mampu, kan digilas roda-roda zaman, oleh mereka yang berlari lebih kencang dengan paru-paru yang lebih besar dan kuat tentunya.

Meski demikian, seburuk-buruknya hidup, dia tetaplah harus dirayakan. Semata-mata karena hingga kini kau masih bernapas dan bernyawa. Dan oleh karenanya masih mampu menyesap setiap denyut kehidupan. Masih mampu mendengar denting gitar, alunan piano dari pemusik favoritmu yang kau putar berulang-ulang setiap kali kau gundah gulana. Kau masih mampu pula merasakan embun pagi yang terpercik ke wajahmu setiap kali kau keluar untuk berangkat lebih pagi. Cukup cari satu alasan dan harimu akan menyenangkan.

Itu yang penting.

Televisi, radio, dan segala jalur informasi akan menghujam kepalamu bertubi-tubi seperti semburan hari kiamat. Mencoba meyakinkanmu untuk pesimis dan ingin mati saja. Tapi satu hal yang pasti, kita masih hidup. Bumi masih berputar. Dan itu yang sepatutnya dirayakan. Perlahan maju. Melawan. Selangkah demi selangkah.

Jadi, selamat datang, Dua Puluh.

Teater

 

Satu per satu lampu dimatikan. Sekonyong-konyong gelap mengerubungi ruangan seperti lebah yang pulang ke sarangnya. Hening melangkah masuk. Tak lama kemudian, tirai terbuka. Cahaya merekah perlahan di belakangnya, memberi makna pada kursi, meja, karpet, lemari dan buku-buku yang tertata. Terlihat bagiku rumah di atas panggung.

Keberadaan teater sekarang ini bagai anomali. Di zaman kala setiap hiburan butuh prasyarat megah, dengan dentuman yang menggelegar, efek visual yang mencengangkan dan inovasi layar tiga dimensi, teater malah masih terpaku menawarkan hal yang kurang lebih sama sejak ribuan tahun lalu.

Ratusan orang di dalam pertunjukan teater duduk diam, berjam-jam di depan panggung yang saklek. Tak ada iklan, tak ada ledakan, tak ada robot tempur ataupun semarak kota-kota metropolitan. Hanya ada penampilan ragam manusia dengan segala rias dan lakonnya, yang menguasai panggung.

Tapi itu pula lah yang membuat teater begitu semarak. Manusia-manusia kecil itu tampak begitu kuat. Berlarian ke sana, ke mari, melompat, berteriak, mengumpat dan menangis sejadi-jadinya. Sebab tak ada yang mereka andalkan lebih dari tubuh mereka sendiri.

Ini menjadikan teater sebagai refleksi paling serupa dari kehidupan. Dalam teater, setiap keping adegan dirajut dalam satu untaian waktu. Tak ada kesempatan mengulang adegan. Tak pula bisa bersembunyi di balik kamera. Satu kesalahan saja bisa begitu fatal, telanjang terpampang di depan ratusan mata yang menyimak. Sama seperti nafas yang tak akan pernah bisa diulang.

Self Talk

Sekala Niskala berputar begitu pelan di layar bioskop dalam studio yang tak penuh setengah. Aku ternganga, bukan karena bagusnya. Tapi lebih-lebih karena tak mengerti saja.

Badanku terasa menyusut. Kantuk menderu, menarik kesadaranku yang sedari tadi berontak untuk tertidur.

Dua orang anak memasang kuda-kuda di atas ranjang sebuah rumah sakit. Muka, badan dan kaki mereka penuh warna. Entah mereka menari atau berkelahi, sungguh enerjik. Menghentak dan jumpalitan dalam satu garis nafas. Mereka adalah Tantri dan Tantra, dua anak kembar yang sepertinya saling merindukan sejak dalam kandungan.

Selain dari pada adegan itu, aku tak bisa menikmati rentetan adegan lain. Tempo yang lambat ditambah dengan latar belakang budaya Bali yang tak sepenuhnya dijelaskan, membuat otakku harus berusaha keras dari biasanya. Aku tak menikmati dan tak mengerti. Aku lelah.

Beginikah rasanya terasing dari seni?

 

Apanya yang Indonesia?

Dua kelompok saling terjang. Dengan tangan mengepal, kaki ayam dan muka kusam, keduanya mengatur aba-aba. Lalu bergantian menyerbu. Seperti dalam adegan film hongkong, bedanya tanpa golok dan kapak. Pelakunya juga bukan preman kelab malam pun mafia narkoba. Mereka ini cuma anak-anak SD yang menghabiskan waktu istirahatnya di sekolah.

 

Anak-anak itu jelas tak serius. Seringnya aku malah dibuat tertawa. Bagaimana tidak? Mereka, dengan badan kurus dan kecil, akan berhadap-hadapan di atas lapangan pasir. Saling menunggu. Kelompok yang “menerjang” duluan akan mengejar-ngejar kelompok lain. Setelah itu, kelompok yang dikejar akan balik mengejar saat kelompok “pengejar pertama” sudah kelelahan. Begitu seterusnya. Bagai menonton ikan teri tawuran aku rasanya.

 

Jelaslah, kan mereka masih anak-anak. Cuma untuk melampiaskan energi berlebih yang tak tersalurkan di dalam kelas. Tak ada niat berkelahi sebenarnya, tapi toh tetap saja banyak “korban”. Terkadang ada yang nendang terlalu kuat. Ada yang gayanya sangar eh tapi letoy, jadinya nangis waktu jatuh. Ada pula yang kepleset waktu nendang, atau beberapa kali yang tidak ikutan malah kena tabrak. Itulah kenapa, aku langsung saja lerai saja kalau melihat mereka mulai pasang gaya. Sebab belakangan, mereka makin total saja nampaknya.

 

“Kitong mau jadi Boy, Pak!” kata Apris, kala kulerai, mewakili sebagian besar suara anak-anak yang melakukan ritual tawuran “ecek-ecek” itu. Aku terharu, anak-anak sekarang lebih memilih jadi anak jalanan ketimbang jadi Ultraman.

 

Boy, si tampan dari kota, bintang sinetron Anak Jalanan itu berhasil memikat anak-anakku di pantai timur Pulau Rote, ribuan kilometer jauhnya. Hebat kan? Sekarang bayangkan kalau anak-anak itu meniru Rizieq Shihab, atau tokoh lain yang sering mengumbar kebencian pada kaum yang berbeda pandangan dengannya.

 

Iya, sebenarnya aku cuma mau ngomongin pilkada DKI yang baru usai itu.

 

Bukan rahasia lagi, kalau pilkada kali ini tumpah ruah. Segala trik, intrik dan apalah itu namanya betul-betul dikeluarkan semampus-mampusnya. Pilkada ini menggelembung, hampir meledak. Momentum yang seharusnya “hanya” jadi ajang memilih pemimpin sebuah provinsi untuk jangka waktu terbatas, melenceng menjadi ajang pertarungan gengsi sampai mati. Seperti memilih presiden saja.

 

Sialnya, orang-orang Jakarta (dan simpatisannya) bertarung seolah-olah dunia ini hanya milik mereka. Seakan tak ada mata yang melihat dari jauh. Teriakan “harus pribumi”, “ganyang cina”, “harus gubernur seagama”, disertai caci maki lainnya itu tentu tak hanya bergema di kandang sendiri. Hasrat kebencian itu dapat menyebar dan merasuk benar dalam benak pemirsanya jauh di ujung sana, terutama anak-anak.

 

Bayangkan, bagaimana anak-anak di Halmahera misalnya, ketika mendengar ada tempat ibadah di Jakarta (ibukota negara ini loh ya) yang menolak mendoakan jenazah saudara seiman hanya karena beda pilihan. Ada pula orang-orang yang disoraki saat beribadah (mau menghadap Tuhan ini loh ya) karena beda suara juga. Atau bayangkan lagi, ketika anak-anak di Manokwari mendengar sekelompok orang berpengaruh dengan segala kecerdasannya, tak sudi dipimpin orang lain yang berbeda keyakinan dengannya.

 

Tambah lagi, segala kanal informasi pun terus membakarnya atas nama rating dan bisnis.

 

Memuakkan.

 

Tapi memilih berdasarkan agama kan tetap pilihan? Jelas. Namun selalu ada penjelasan di setiap pilihan. Sayangnya, setiap informasi kini dapat dengan mudah dipotong-potong dan dikembangbiakkan. Pesan-pesan dipampatkan hingga begitu dangkalnya, sampai yang tersisa hanya soal aku atau kau. Lalu dapatkah argumen atau imaji yang hinggap di kepala mereka yang jauh sana, akan dapat diklarifikasi ataupun diluruskan?

 

Maka tidak heran, kalau di masa depan, “tanah Kristen” tetap akan jadi “milik kristen”, “tanah Islam” hanya akan jadi “milik Islam”, begitu pula Hindu, Buddha, Konghucu dan agama kepercayaan lainnya. Hanya ada aku atau kau, bukan kita.

 

Lalu apanya yang Indonesia?

 

Entahlah.

 

Perihal Tas, Sepatu dan Kemandirian

Empat anak itu berdiri kaku di depan kamera. Mungkin usia mereka tak sampai sepuluh. Tak ada sedikit pun senyum menyungging di bibir mereka. Baju mereka lusuh dan tak dikancing penuh. Celana mereka pun sama kusam. Tak bersepatu. Di belakang, anak-anak lain menunggu mereka di dalam kelas berdinding kayu.

“Pak Jokowi, minta tas,” ujar mereka.

Kita tak pernah tahu apakah ucapan anak SD dalam video itu benar keinginan mereka atau sekedar titipan entah siapa. Tapi nampaknya itu tak penting, karena toh video itu terlanjur viral. Ditonton sebanyak 33.000 kali dan disukai sebanyak 3.300 pengguna instagram dalam tiga minggu.

Semua bersimpati. Kepolosan mereka menggelegar.

Presiden bertitah cepat. Gemuruh mesin memecah heningnya hutan, membawa bantuan menuju sekolah mereka yang sulit dijangkau. Seperti perang saja.

Siapa yang tak jatuh dalam euforia ketika mengikuti kisah itu? Entah sesunggukan penuh haru saat pertama menonton video hingga girang bukan kepalang saat paket-paket bantuan itu diberikan. Sekarang, saat semua ingar bingar itu sayup meredup, selesaikah sudah semua masalah?

***

Anggit Purwoto tahu betul kondisi anak-anak di Bengkayang. Melalui akun Instagramnya (@anggitpurwoto), dia berusaha memberi pesan pada Presiden (juga Indonesia) bahwa anak-anak di pelosok itu butuh bantuan. Niatnya mulia. Tapi bagiku, di tengah usahanya untuk memberikan perubahan, Anggit lalai dalam satu hal: suaranya nihil konteks.

Kampanyenya tak menunjukkan akar masalah yang sebenarnya. Kenapa mereka tak punya tas dan sepatu? Ke mana orang tua, guru dan dinas pendidikan setempat? Bagaimana sekolahnya? Bagaimana masyarakatnya? Tak ada gambaran barang sedikit pun. Tentu Anggit tak sepenuhnya salah. Sekali lagi, niatnya baik. Namun kita ingin anak-anak itu bersekolah hingga 5-10 tahun lagi, bukan sekedar mengkilap setahun lamanya.

Lewat video itu, aku jadi ingat setahun yang kuhabiskan di Rote Ndao, NTT dulu. Kondisinya persis. Ada 110 anak di SD, mayoritas tak bersepatu. Pun bajunya lusuh. Kasihan benar. Namun waktu berjalan, dan akhirnya kudapat perlahan jawabnya. Mereka punya sepatu, namun tak suka bersepatu.

“Sepatu sonde (tidak) enak, Pak!” ketus mereka saat kunasehati agar bersepatu. Mereka tak bisa berlarian bebas, karena sepatu tak mencengkeram tanah. Berbeda dengan anak-anak di kota yang biasa duduk diam, anak-anak di desaku cenderung lebih suka Ba’usir. Berkejar-kejaran. Maka dari itu, sepatu sungguh mengganggu.

Memang ada juga yang tak punya sepatu, tapi bukan karena tak mampu. Bukan prioritas, kata beberapa orang tua. Padahal yah, mereka mampu beli. Sama halnya dengan baju sekolah dan peralatan lainnya. Unik kan? Kenyataan ini tak akan pernah ditemukan jika kita tak sepenuhnya hidup bersama mereka.

Jika saat itu aku menggalang sepatu, tentu hasilnya serupa. Bantuan akan datang. Semua gembira. Tapi anak-anak akan tetap tak bersepatu, karena yah mereka senangnya berlari, dan dengan telapak kaki yang sekeras kulit badak, sepatu akan tetap terpinggirkan.

Lalu dapatkah bantuan itu menjadikan anak-anakku lebih giat sekolah dan bekerja keras mencapai impian? Apakah bantuan itu membuat guru dan kepala sekolah lebih profesional? Mungkinkah orang tua lebih setia mendampingi anak-anaknya belajar di rumah? Kurasa tidak.

Justru, bantuan instan itu berpotensi mengganggu keharmonisan desa. Akan tercipta ketergantungan baru. Pendatang bisa dianggap juru selamat, hadir memberikan apa yang desa “tidak punya”. Yang tadinya seimbang lalu berganti posisi. Kota adalah pemberi, sedang desa jadi peminta. Jika mentalitas itu menjamur, kota akan semakin pongah dan desa semakin rendah diri.

Rote dan Bengkayang tentu jauh berbeda. Begitu pula dengan Jakarta dan daerah lainnya. Itulah kenapa solusinya tak akan pernah sama.

Untungnya, ada ribuan pendidik seperti Anggit yang sedang bergerak dalam senyap di sudut Indonesia. Mereka bekerja keras mengurai rumitnya benang kusut pendidikan negeri ini.

Mereka dapat berbagi wawasan mendalam kepada kita, orang luar, tentang alam, masyarakat dan tantangannya. Namun setiap pejuang pendidikan itu haruslah bersuara dengan perspektif lokal dan menyeluruh, bukan dengan perspektif pendatang yang nanggung.

Bukankah lebih menarik, kalau para pendidik di pelosok bercerita lebih banyak tentang kecerdasan jamak anak-anaknya dan bagaimana mereka memandang dunia ketimbang kisah kemiskinan mereka? Atau bagaimana tentang kearifan lokal yang seringkali dinomorduakan?

Linimasa kita tentu akan jauh lebih berwarna. Bisa jadi, kita justru minder, karena orang-orang yang katanya pelosok itu ternyata jauh lebih bahagia daripada kita semua.

Itulah kenapa penduduk lokal juga harus dilatih agar lebih percaya diri. Agar saudara-saudara kita itu dapat menjadi solusi atas masalahnya sendiri (itu pun jika ada). Kita tidak sedang menyelamatkan bayi yang tenggelam, kan?

Karena tanpa konteks, tanpa kacamata yang tepat, dan tanpa kesadaran tiap aktornya, setiap masalah pendidikan hanya akan berkutat di persoalan tas dan sepatu. Lalu kita hanya akan mengulang hal yang sama. Video-video terus bermunculan, dibalas bantuan yang terkadang tak dibutuhkan.

Jika begitu, kita akan terus menggantang asap. Berlari-lari dituntun ilusi.

Semoga tidak ya!